Gabungan kata diatas memang seharusnya
menjadi pedoman yang terpatri dalam diri seorang Da’i. Kekakuan memahami
dakwah akan membuat diri kita sendiri terjerumus dalam dakwah
imajinatif yang hasilnya juga imajinatif atau dengan kata lain hanya
sebatas berwacana , titik.
Dalam tahapan tuntutan memang sangat mengasyikkan.
Lihatlah demo-demo tuntutan terhadap sesuatu selalu ramai dihadiri oleh ribuan bahkan ratusan ribu pihak. Mereka menyuarakan unek2 yang ada dihati mereka, mereka mengumbar tudingan, tuduhan, tuntutan dan berbagai istilah lainya yang kerap dilakukan oleh anak kecil disaat keinginanya tidak terpenuhi.
Lihatlah demo-demo tuntutan terhadap sesuatu selalu ramai dihadiri oleh ribuan bahkan ratusan ribu pihak. Mereka menyuarakan unek2 yang ada dihati mereka, mereka mengumbar tudingan, tuduhan, tuntutan dan berbagai istilah lainya yang kerap dilakukan oleh anak kecil disaat keinginanya tidak terpenuhi.
Di sisi lain disaat tuntutan itu sendiri
menuntut diri kita untuk berkarya, kita malah berebut diri untuk menjauh
dari imbauan tersebut. Tidak sedikit dari kita semua menuntut sembako
diturunkan kepada pihak lain, namun disaat pihak lain juga menuntut
kepada kita apakah yang bisa kita lakukan. Apakah melempar tuntutan ke
pihak lainya juga, sedhingga amalan keseharian kita hanya sebagai
makelar tuntutan.
Apakah nilai – nilai dakwah hanya melahirkan generasi penuntut?
La…. sekali lagi tidak.
Nilai dakwah bahkan menuntut diri kita
semua untuk memperbanyak kerja nyata dan mengikis habis benih2 tuntutan
yang selama ini sering kita semai dalam diri kita. Nilai dakwah bukan
melahirkan sosok penuduh atau pemblok up kesalahan pihak lain, namun
jauh lebih dari itu semua. Nilai dakwah memberikan bukti nyata sebagai
tauladan dan menjadi referensi karya nyata yang kelak menjadi rujukan
pihak2 yang hampir saja menerima tuntutan kita.
Wallohu a’lam.
No comments:
Post a Comment